Beranda | Artikel
Menutup Jalan Menuju Kemaksiatan Dan Kerusakan
Rabu, 13 Maret 2019

MENUTUP JALAN MENUJU KEMAKSIATAN DAN KERUSAKAN

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc. M.A

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan janganlah kalian mencela sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena mereka nanti akan mencela Allâh dengan melampaui batas tanpa ilmu. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik amalan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. [Al-An’âm/6:108]

TAFSIR RINGKAS
Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi hafizhahullah mengatakan, “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan dirinya dan memulai dakwah Beliau n dengan terang-terangan yang dulunya Beliau berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, mulailah sebagian Sahabatnya mencela patung-patung orang musyrik, sehingga orang-orang musyrik pun marah dan mulai mencela Allâh Azza wa Jalla  yang Dia adalah Ilâh-nya orang-orang yang beriman dan Ilâh-nya mereka juga. Kemudian Allâh Azza wa Jalla melarang mereka untuk melakukan hal itu, yaitu melarang dari mencela tuhan-tuhan orang musyrik, dengan Firman-Nya:

Dan janganlah kalian mencela sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allâh,’ maksudnya adalah janganlah kalian mencela tuhan-tuhan mereka, karena mereka nanti akan mencela Allâh dengan melampaui batas,’ yaitu dengan cara zhalim dan melampaui batas, ‘tanpa ilmu,’ karena seandainya mereka mengetahui kemuliaan dan kesempurnaan Allâh Azza wa Jalla maka mereka tidak akan mencela-Nya.

Firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ‘Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik amal mereka,’ Ini adalah penjelasan dari Allâh Azza wa Jalla terhadap ketetapan-Nya pada makhluk-makhluk-Nya, yaitu apabila seseorang telah mencintai dan sangat senang terhadap sesuatu, maka kecintaan dan kesenangan itu akan menjadi sesuatu tersebut bagus baginya, walaupun pada kenyataannya berbeda. Dia melihat sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang baik, padahal kenyataannya jelek.

Dengan alasan inilah orang-orang musyrik membela tuhan-tuhan mereka yang batil. Oleh karena itu, mereka tidak ridha jika tuhan-tuhan mereka dicela. Mereka mengancam Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman, apabila mereka (orang-orang yang beriman) masih mencela tuhan-tuhan mereka, mereka akan benar-benar mencela Tuhan-nya orang-orang yang beriman, yaitu Allâh.

‘Kemudian kepada Rabb merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.’

Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa tempat kembali manusia, setelah berakhirnya kehidupan, adalah kepada Allâh Azza wa Jalla . Kemudian Allâh Azza wa Jalla akan mengabarkan dan menampakkan amalan-amalan mereka, serta membalas mereka dengannya, jika baik maka dibalas dengan kebaikan dan jika buruk, maka dibalas dengan keburukan.”[1]

PENJABARAN AYAT
Sebab Turunnya Ayat
Ayat ini diturunkan dengan suatu sebab (sababun nuzûl). Imam at-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan dua riwayat dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma dan Qatâdah rahimahullah tentang sababun-nuzûl ayat ini.

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Muhammad! Berhentilah kamu mencela tuhan-tuhan kami atau kami akan mencela Rabb-mu. Kemudian Allâh Azza wa Jalla melarang mereka (orang-orang yang beriman) untuk mencela patung-patung mereka, sehingga mereka mencela Allâh Azza wa Jalla dengan melampaui batas tanpa ilmu.”

Qatâdah t mengatakan, “Dulu orang-orang Islam mencela patung-patung orang kafir, kemudian mereka (orang-orang kafir tersebut) membalasnya. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala larang  kaum Muslimin menjadi sebab dicelanya Rabb mereka (yaitu Allâh).  Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) adalah orang-orang bodoh yang mereka tidak memiliki ilmu tentang Allâh Azza wa Jalla .”[2]

 Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kalian mencela sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena mereka nanti akan mencela Allâh dengan melampaui batas tanpa ilmu.

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla melarang orang-orang yang beriman untuk mencela patung-patung mereka karena Allâh Azza wa Jalla mengetahui jika mereka mencela orang-orang kafir, maka orang-orang kafir akan lari dan bertambah pula kekufuran mereka … Hukum ini terus berlaku pada umat ini dalam segala keadaan, ketika orang kafir memiliki kekuatan dan ditakutkan darinya dia akan mencela Islam, mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mencela Allâh Azza wa Jalla , maka seorang Muslim tidak diperbolehkan mencela salib-salib, agama dan gereja-gereja mereka dan tidak melakukan hal-hal yang bisa membawa ke arah itu, karena ini kedudukannya seperti orang yang membangkitkan kemaksiatan… .”[3]

Imam al-Baghawi rahimahullah  mengatakan, “Zhahir dari ayat ini, meskipun berisi larangan mencela patung-patung, tetapi pada hakikatnya ini adalah larangan mencela Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena perbuatan tersebut (yaitu mencela patung-patung) bisa menyebabkan perbuatan ini (yakni mencela Allâh).”[4]

Dengan demikian kita bisa memahami bahwa mencela tuhan orang-orang kafir, mengejek ajaran dan syiar-syiar mereka dan menjelek-jelekkan tokoh-tokoh mereka bukanlah sesuatu yang disyariatkan jika ternyata hal tersebut akan memancing mereka untuk mencela balik Rabb dan Nabi kita, agama Islam dan syiar-syiar agama kita. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita lebih berhati-hati dalam berbicara dan menulis, terlebih lagi di media massa atau media sosial.

Kaidah : Saddu adz-dzarii’ah ila al-muharram wal-mafsadah
(Menutup perantara menuju hal yang diharamkan dan kerusakan)

Ayat ini menunjukkan suatu kaidah penting dalam syariat kita bahwa sesuatu bisa diharamkan apabila dia menjadi perantara atau sarana untuk terjadinya perbuatan yang diharamkan atau bisa mendatangkan bahaya dan kerusakan, meskipun secara zahirnya hal tersebut tidak terlarang.

Oleh karena itu, Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan di dalam tafsirnya, “Di dalam ayat ini juga terdapat contoh mengadakan perdamaian (antara kedua belah pihak) dan terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya berhukum dengan Saddu adz-dzarî’ah (menutup celah). Di dalam ayat ini juga terdapat dalil bahwa orang yang berada di atas kebenaran terkadang harus menahan diri dari kebenarannya jika hal tersebut bisa mengantarkan kepada bahaya terhadap agama.”[5]

Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad bin Muhammad al-Muqrin hafidzhahullah di dalam Majalah al-‘Adl[6] setelah beliau menyebutkan perkataan-perkataan para Ulama tentang definisi Saddu adz-dzarî’ah, beliau memberikan kesimpulan bahwa definisi Saddu adz-dzarii’ah adalah sebagai berikut:

اَلْفِعْلُ الَّذِيْ ظَاهِرُه أَنَّه مُبَاحٌ وَهُوَ وَسِيْلَةٌ إِلَى اْلمَمْنُوْعِ

Perbuatan yang secara zahirnya adalah mubah (boleh) dan dia penjadi sarana/perantara menuju ke hal yang dilarang.

Perkataan dan perbuatan yang bisa mengantarkan kepada mafsadat ada empat macam[7], yaitu:

  1. Sarana yang bisa mengantarkan kepada kerusakan nyata, seperti: meminum khamr (minuman keras) bisa mengantarkan kepada mafsadat mabuk, dan perzinaan bisa mengantarkan kepada mafsadat percampuran nasab (garis keturunan) dan rusaknya kehormatan seseorang.
  2. Sarana yang bisa mengantarkan kepada sesuatu yang mubâh (boleh), tetapi yang dimaksudkan darinya untuk mengantarkan kepada mafsadat, seperti: seseorang yang sengaja berakad nikah dengan wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama, kemudian dia berniat dengan pernikahan tersebut untuk menceraikannya, sehingga wanita tersebut bisa menikah dengan mantan suaminya tersebut.
  3. Sarana yang bisa mengantarkan kepada sesuatu yang mubâh (boleh) dan tidak dimaksudkan untuk suatu mafsadat, tetapi kebanyakan yang terjadi justu malah mengantarkan kepada mafsadat dan mafsadat yang ditimbulkan lebih besar daripada maslahatnya, seperti: mencela tuhan-tuhan orang kafir dengan terang-terangan, itu bisa mengakibatkan pencelaan terhadap Allâh Azza wa Jalla .
  4. Sarana yang bisa mengantarkan kepada sesuatu yang mubâh (boleh) dan terkadang bisa mengantarkan kepada mafsadat, tetapi maslahatnya lebih besar daripada mafsadatnya, seperti: seorang laki-laki nadzhar (melihat) kepada wajah dan tangan wanita yang ingin dinikahinya, begitu pula seorang rakyat mengatakan kebenaran di samping pemimpin yang zhalim. Maslahat yang didapatkan lebih besar daripada mafsadatnya.

Untuk yang pertama dari keempat macam di atas, syariat telah menjelaskan larangannya, baik larangan yang berkonsekuensi hukum haram ataupun makruh, tergantung derajat mafsadat (kerusakan yang diakibatkan)nya, dan tidak ada perselisihan pendapat dalam jenis yang pertama ini.

Begitu pula jenis yang keempat, syariat telah menetapakan bahwa itu disyariatkan, baik dalam bentuk kewajiban atau anjuran, tergantung derajat maslahatnya.

Sedangkan untuk jenis kedua dan ketiga, para Ulama berselisih pendapat, Apakah syariat telah menjelaskan keharamannya ataukah tidak?

Di dalam madzhab Imam Malik dan Imam Ahmad begitu pula para Ulama yang sepakat dengan kedua madzhab tersebut, saddu adz-dzarî’ah adalah dalil syar’i yang bisa menjadi landasan hukum. Ketika suatu perbuatan bisa mengantarkan kepada mafsadat yang lebih besar atau sering mengantarkan kepada mafsadat atau orang yang melakukannya berniat untuk menuju ke suatu mafsadat, maka wajib untuk dilarang.

Sementara sebagian Ulama madzhab Syafi’iah dan Hanafiyah begitu pula Zhahiriyah berpendapat bahwa tidak boleh berdalil dengan saddu adz-dzarî’ah. Kecuali ditemukan dalil yang melarangnya, baik dari nash, ijmaa’ atau qiyâs. Tetapi dalam kenyataannya, mereka tidak menerapkan ini secara keseluruhan pada furû (cabang-cabang) fiqh mereka, mereka menggunakannya di sebagian permasalahan dan meninggalkannya di permasalah yang lain.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang menganggap bahwa saddu adz-dzarii’ah adalah dalil syar’i yang bisa menjadi landasan hukum.

Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Ayat yang sedang kita bahas ini.

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian katakan (kepada Muhammad): ‘Raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurnaa’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al-Baqarah/2:104]

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang Islam dulu berkata, ‘Râ’inâ wahai Rasul! Yang artinya berasal dari kata ‘al-murâ’ah (memperhatikan)’, maksudnya adalah ‘Fokuskanlah pendengaranmu untuk mendengar perkataan kami…

Lafaz ini adalah lafaz yang buruk dalam bahasa Yahudi. Dalam sebuah pendapat disebutkan bahwa menurut mereka, kata Râ’inâ itu artinya, ‘Dengarlah dan engkau tidak akan mendengarkan.’ Dalam pendapat lain, jika mereka ingin mengatakan bahwa seseorang itu bodoh, mereka mengatakan ‘Râ’inâ yang berarti ‘Ya ahmaq (Wahai orang bodoh).’…

Dulu mereka mendatangi Nabi Muhammad n dan mengatakan, ‘Râ’inâ kemudian mereka tertawa. Kemudian Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu mendengar perkataan mereka itu, dan mengerti maksudnya dan beliau juga mengetahui bahasa mereka. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berkata kepada orang-orang Yahudi, ‘Seandainya saya mendengar lagi perkataan itu dari seorang di antara kalian dan ditujukan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka saya akan penggal lehernya.’ Mereka berkata, ‘Bukankah kalian juga mengucapkannya?’ Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat, ‘Janganlah kalian mengatakan ‘Râ’inâ’!”[8]

3. Sang Hakim dilarang untuk menerima hadiah, karena ditakutkan hadiah tersebut menjadi perantara mengambil sogokan (risywah)

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

Hadiah-hadiah untuk para pekerja (pegawai) adalah pengkhianatan.[9]

4. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seluruh hal yang berhubungan dengan khamr (minuman keras).

Di dalam hadits Anas bin Malik  Radhiyallahu anhju , beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  فِى الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِىَ لَهَا وَالْمُشْتَرَاةَ لَهُ.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang terkait khamr, yaitu: yang memerasnya, yang minta untuk diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang meminta dibawakan kepadanya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang memakan hasil penjualannya, yang menjualnya dan yang minta dijualkan untuknya.”[10]

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan hal ini. Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam kitab ‘I’lâm al-Muwaqqi’iin’ menyebutkan 99 contoh penerapan kaidah ini berdasarkan dalil-dalil syar’i.

Oleh karena itu, bab saddu adz-dzarii’ah adalah bab penting di dalam agama ini yang selayaknya diketahui dengan baik oleh para penuntut ilmu. Setelah menyebutkan kesembilan puluh sembilan contoh, Ibnul-Qayyim al-Jauzi rahimahullah mengatakan, “Bab saddu adz-dzarî’ah adalah seperempat dari bab taklîf (pembebanan syariat). Sesungguhnya taklîf (pembebanan syariat) itu berupa perintah dan larangan. Perintah terbagi menjadi dua, yaitu: (perintah) yang dimaksudkan dengan sendirinya dan yang kedua adalah perantara untuk menuju maksud tersebut. Dan larangan terbagi menjadi dua, yaitu: larangan tersebut berupa mafsadat dengan sendirinya dan yang kedua apa-apa yang menjadi sarana menuju kepada mafsadat, sehingga saddu adz-dzarî’ah menuju ke hal yang diharamkan termasuk seperempat dari agama.”[11]

Jika sarana menuju kemaksiatan diperbolehkan, maka orang-orang akan sangat merasa kesulitan untuk menghindarinya. Dengan adanya sarana kemaksiatan, maka kemungkinan untuk terjatuh kepada kemaksiatan tersebut akan semakin besar. Oleh karena itu, penetapan kaidah ini sangat penting dalam agama kita ini.

Mempertimbangkan Apa-Apa Yang Kemungkinan Akan Terjadi Di Masa Yang Akan Datang
Di dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk menjauhi hal buruk yang mungkin akan terjadi akibat mengejek tuhan-tuhan orang kafir, yaitu mereka akan membalas mengejek Allâh Azza wa Jalla tanpa ilmu.

Sebagai seorang Muslim kita tidak boleh bertindak gegabah, kita harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Bisa jadi suatu perbuatan pada saat ini kita anggap sebagai suatu kebaikan ternyata di masa yang akan datang justru hal tersebut membawa dampak yang buruk untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dan tidak cukup dengan itu, kita harus memilih maslahat mana yang terbaik dari maslahat-maslahat yang ada dan memilih mafsadat mana yang paling ringan dari mafsadat-mafsadat yang ada. Dengan demikian, apabila kita mendapatkan maslahat, maka maslahat terbaiklah yang kita dapatkan dan apabila kita menghindari mafsadat walaupun tetap mendapatkan mafsadat, maka mafsadat yang teringanlah yang kita rasakan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan telah diketahui bahwa sesungguhnya syariat datang dengan membawa kemaslahatan-kemaslahatan dan menyempurnakannya, dan menghilangkan kerusakan-kerusakan dan menguranginya. Dan syariat menimbang yang lebih baik dari dua kebaikan dengan mengenyampingkan kebaikan yang terendah, dan menghindari keburukan yang lebih buruk dari dua keburukan dengan memikul keburukan yang paling rendah.”[12]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ

Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik amal mereka.

Apabila seseorang telah mencintai suatu agama, kelompok atau golongan, maka apapun yang dia lakukan yang berhubungan dengan cintanya tersebut akan dia pandang baik, meskipun hal tersebut bertentangan dengan dalil dari al-Qur’an atau as-Sunnah, atau bertentangan dengan akal sehat.

Sudah sepantasnya manusia tidak menjadikan akalnya sebagai timbangan kebenaran, tetapi dia harus menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai timbangan kebenarannya.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dan sebagaimana kami jadikan kaum tersebut mencintai patung-patung mereka, melindungi dan menolongnya, seperti itu pula kami jadikan setiap umat dari umat-umat yang berada di atas kesesatan mencintai perbuatan mereka yang mereka lakukan. Dan Allâh Azza wa Jalla memilik hujjah yang jelas dan hikmah yang sempurna sesuai dengan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala inginkan dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala pilih.”[13]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Kemudian kepada Rabb merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan dan mengabarkan kepada mereka tentang amalan-amalan mereka yang dulu mereka lakukan di dunia, lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala membalas mereka sesuai amalan-amalan tersebut. Apabila baik, maka Allâh Azza wa Jalla balas dengan kebaikan. Jika buruk, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala balas dengan keburukan atau Allâh Subhanahu wa Ta’ala memaafkannya, selama dia tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran.”[14]

Dari apa yang dikatakan oleh Imam ath-Thabari rahimahullah di atas kita bisa memahami bahwa kata ganti “mereka” pada potongan ayat ini kembali kepada semua umat, baik kafir maupun Mukmin, dan pengabaran tersebut bersifat umum, yaitu untuk orang kafir dan orang Mukmin. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berpendapat juga demikian dalam tafsirnya.

Menurut Syaikh Ibnu ‘Asyur rahimahullah di dalam tafsirnya, “Al-Inbâ artinya memberitahukan. Maksudnya adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepada mereka keburukan-keburukan amalan mereka. Dan bisa jadi kata ini digunakan untuk menunjukkan konsekuensi dari artinya, yaitu: menghinakan dan menghukum, karena hukuman merupakan akibat yang dimaksud dari pemberitahuan orang yang berdosa terhadap dosanya.”[15]

Berdasarkan perkataan Syaikh Ibnu ‘Asyur rahimahullah di atas kita bisa pahami bahwa yang beliau pahami dari kata ganti “mereka” pada potongan ini dikembalikan kepada orang-orang yang menyembah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

KESIMPULAN

  1. Sebab turunnya ayat ini adalah dulu orang-orang Islam yang mencela patung-patung orang kafir, kemudian orang-orang kafir mengancam akan mencela Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang kaum Muslimin melakukan hal tersebut, agar Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak dicela.
  2. Tidak boleh mencela tuhan orang-orang kafir, mengejek ajaran dan syiar-syiar mereka dan menjelek-jelekkan tokoh-tokoh mereka jika hal tersebut akan berdampak mereka akan mencela balik Rabb dan Nabi kita, agama Islam dan syiar-syiar agama kita.
  3. Kaidah saddu adz-dzarî’ah adalah salah satu kaidah penting dalam syariat kita dan hukum-hukum lain bisa dibangun di atasnya.
  4. kita harus mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat yang kemungkinan akan terjadi di masa yang akan datang.
  5. Seseorang apabila mencintai sesuatu, maka dia akan menganggap baik apa yang dicintainya tersebut, meskipun bertentangan dan dalil dan akal sehat.
  6. Di akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan memperlihatkan dan mengabarkan kepada manusia apa-apa yang mereka lakukan selama mereka hidup di dunia.

Demikian. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla selalu menutupi aib-aib kita di dunia dan di akhirat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsî Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
  2. At-Tahrîr wa At-Tanwî Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur. 1997. Tunisia: Dar Sahnuun.
  3. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’aan. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
  4. I’lâm al-Muwaqqi’iin ‘an Rabbil-‘Âlamin. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiiq: Ishamuddin Ash-Shabaabithi. 1425 H/2004. Kairo: Darul-Hadits.
  5. Jâmi’ al-Masâ-il Libni Taimiyah. Abul-‘Abbas Ibnu Taimiyah. Tahqiiq: Muhammad ‘Uzair Syams. 1422 H. Mekkah: Dar ‘Alam Al-Fawaid.
  6. Jâmi’ al-Bayân fii Ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  7. Ma’âlimut-Tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Ar-Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  8. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhî Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Ar-Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  9. Ushûlul-Fiqh Alladzii Laa Yasa’ul-Faqîh Jahluhu. Iyadh bin Nami As-Sulami. 1426 H/2005. Ar-Riyadh: Dar At-Tadmuriyah.
  10. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 414-415.
[2] Lihat Tafsîr ath-Thabari XII/33-34.
[3] Tafsîr al-Qurthubi, VII/61.
[4] Tafsîr al-Baghawi III/176.
[5] Tafsîr al-Qurthubi VII/61.
[6] Majallah al-‘Adl. Edisi ke-40/Muharram 1430. Hlm. 66.
[7] Lihat sebagian pembahasan ini di I’lâm al-Muwaqqi’iin III/102-119 dan ‘Ushûlul-Fiqh Alladzii La Yasa’ul-Faqîhu Jahluhu’, hlm. 211-213.
[8] Tafsîr Al-Baghawi I/132.
[9] HR Ahmad dalam al-Musnad no. 23601 dan al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shughra no. 3267. Syaikh al-Albani menghukumi hadits ini shahih dalam Shahîh al-Jâmi’ no. 7021.
[10] HR Abu Dawud no. 3676, At-Tirmidzi no. 1295 dan ini lafaz beliau dan Ibnu Majah no. 3380. Syaikh al-Albani menghukumi hadits ini shahih dalam Ghâyatul-Marâm no. 60.
[11] I’lâm al-Muwaqqi’iin III/119.
[12] Jâmi’ al-Masâ-il Libni at-Taimiyah VI/416.
[13] Tafsîr Ibni Katsiir III/315.
[14] Tafsîr ath-Thabari XII/37.
[15] At-Tahrîr Wat-Tanwîr VI/266-267.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11317-menutup-jalan-menuju-kemaksiatan-dan-kerusakan.html